background img

The New Stuff

Inteligensi



BAB I
PENDAHULUAN
Sehubungan dengan luasnya makna kata inteligensi, maka para psikolog tidak setuju pada satu defenisi saja. Tetapi bagaimanapun juga inti dari topik ini adalah kemampuan seseorang dalam beradaptasi dengan lingkungan dan pemecahan masalah. Lantas, teori-teori apa yang berkaitan dengan Inteligensi? Iteligensi tidak hadir begitu saja, lalu apa faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi? Apakah semua manusia dapat menyelesaikan masalahnya dengan cara yang sama? Tentu tidak. Karena, tingkat inteligensi manusia berbeda. Oleh karena itu, bagaimana tingkah laku dari inteligensi itu sendiri sehingga dapat menyinggung kata “aktivitas”? Banyak orang-orang yang melakukan tes IQ untuk mengetahui tingkat inteligensinya. Bagaimana cara mengukurnya? Semua akan dipaparkan dalam makalah ini.
Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Inteligensi?
2.      Teori-teori apakah yang berkaitan dengan Inteligensi?
3.      Faktor-faktor apa yang dapat mempengaruhi Inteligensi?
4.      Bagaimana tingkah laku Inteligensi?
5.      Bagaimana cara mengukur Inteligensi, dan jenis-jenis tes apa yang dapat digunakan?


BAB II
PEMBAHASAN

Inteligensi terkait erat dengan tingkat kemampuan sesorang menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik itu kemampuan secara fisik maupun non fisik. Banyak hal yang telah diteliti orang tentang kemampuan ini,sehingga melahirkan rumus tentang bagaimana mengukur tingkat intelegensi sesorang.

A.    Pengertian Inteligensi
Banyak defenisi yang digunakan para ahli tentang intelegensi, kadang kala pengertian yang mereka bangun berdasarkan hasil penelitian atau pendekatan yang dilakukan. Menurut Williem Stern Intelegensi adalah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru dngan menggunakan alat-alat berfikir yang sesuai dengan tujuan.[1]
Super dan Cites mengemukakan suatu defenisi yang sering dipakai oleh sementara orang sebagai berikut : intelligence has frequently been defined as the ability to adjust to the environment or to learn from experince. (Inteligensi telah sering didefenisikan sebagai kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan atau belajar dari pengalaman). Pengertian tersebut masih terlalu luas. Oleh karena itu, Garrett mencoba mengemukakan defenisi inteligensi yang lebih operasional sebagai berikut: intelligence, includes at least the abilities demanded in the solution of problems which require the comprehension and use of symbols. (Inteligensi itu setidak-tidaknya mencakup kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk pemecahan masalah-masalah yang memerlukan pengertian serta menggunakan simbol-simbol).
Defenisi lain tentang inteligensi dikemukakan oleh Bischof, seorang Psikolog Amerika. Bischof mengemukakan defenisi intelegensi dalam artian yang lebih luwes, namun bersifat operasional dan fungsional bagi kehidupan manusia sehari-hari, yakni sebagai berikut: intelligence is the ability to solve problems o all kinds. (Inteligensi adalah kemampuan untuk memecahkan segala jenis masalah). Dalam dua defenisi terakhir tersirat bahwa inteligensi merupakan kemampuan problem solving dalam segala situasi yang baru atau yang mengandung masalah. Perlu diketahui bahwa problem solving dalam segala situasi ini mencakup permasalahan pribadi, sosial, akademik-kultural, serta ekonomi keluarga.[2]


B.     Teori-teori Tentang Inteligensi
1.      Teori Uni-Factor
Pada tahun 1991, Wilhelm Stem memperkenalkan suatu teori tentang inteligensi yang disebut “uni factor theory”. Teori ini dikenal pula sebagai teori kapasitas umum. Menurut teori ini, inteligensi merupakan kapasitas atau kemampuan umum. Karena itu, cara kerja inteligensi juga bersifat umum. Reaksi atau tindakan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan atau memecahkan sesuatu masalah adalah bersifat umum pula. Kapasitas umum itu timbul akibat pertumbuhan fisiologis ataupun akibat belajar. Kapasitas umum (gene, ral capacity) yang ditimbulkan itu lazim dikemukakan dengan kode g.

2.      Teori Two-Factors
Ada tahun 1904 yaitu sebelum Stem, seorang ahli matematika bernama Charles Spearman, mengajukan sebuah teori tentang inteligensi. Teori tersebut terkenal dengan sebutan, “Two Kinds of Factors Theory”. Spearman mengembangkan teori inteligensi berdasarkan suatu faktor mental umum yang diberi kode “g” serta faktor-faktor spesifik yang diberi tanda “s”. Faktor “g” mewakili kekuatan mental umum yang berungsi dalam setiap tingkah laku mental indiidu, sedangkan faktor-faktor “s” menentukan tindakan-tindakan mental untuk mengatasi permasalahan.
Orang yang intelegensinya mempunyai faktor “g” luas, memiliki kapasitas untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Dia dapat mempelajari bermacam-macam pelajaran seperti matematika, bahasa, sains, sejarah, dan sebagainya dengan menggunakan berbagai simbol abstrak. Orang yang mempunyai faktor “g” sedang atau rata-rata, ia mempunyai kemampuan sedang untuk mempelajari bidang-bidang studi. Luasnya faktor “g” ditentukan oleh kerjanya otak secara unit atau keseluruhan. Faktor “s” didasarkan pada gagasan bahwa fungsi otak tergantung pada ada dan tidaknya struktur atau koneksi yang tepat bagi situasi atau masalah tertentu yang khusus. Dengan demikian, luasnya faktor “s” mencerminkan kerja khusus dari pada otak, bukan karena struktur khusus otak. Faktor “s” lebih tergantung kepada organisasi neurologis yang berhubungan dengan kemampuan-kemampuan khusus.

3.      Teori Multi-Factors
Teori ini dikembangkan oleh E.L Thorndike. Teori ini tidak berhubungan dengan konsep general ability atau aktor “g”. Menurut teori ini, intelegensi terdiri dari bentuk hubungan-hubungan neural antara stimulus dan respon. Hubungan-hubungan neural khusus inilah yang mengarahkan tingkah laku individu. Ketika sesorang dapat menyebutkan sebuah kata, menghafal sajak, menjumlahkan bilangan, atau melakukan pekerjaan, itu berarti bahwa ia dapat melakukan itu karena terbentuknya koneksi-koneksi di dalam sistem saraf akibat belajar atau latihan. Manusia diperkirakan memiliki 13 milyar urat saraf sehingga memungkinkan adanya hubungan neural yang banyak sekali. Jadi, inteligensi menurut teori ini adalah jumlah koneksi aktual dan potensial di dalam sitem saraf.

4.      Teori Primary-mental-Abilities
LL. Thurstone telah berusaha menjelaskan tentang organisasi ineligensi yang abstrak, ia dengan menggunakan tes-tes mental serta teknik-teknik statistik khusus membagi inteligensi menjadi tujuh kemampuan primer, yaitu:
a.       Kemampuan numerikal/matematis.
b.      Kemampuan verbal atau berbahasa.
c.       Kemampuan abstraksi berupa visualisasi atau berfikir.
d.      Kemampuan menghubungkan kata-kata.
e.       Kemampuan membuat keputusan, baik induktif ataupun deduktif.
f.       Kemampuan mengenal atau mengamati.
g.      Kemampuan mengingat.
Menurut teori “Primary-Mental-Abilities” ini, inteligensi merupakan penjelmaan dari ketujuh kemampuan primer di atas. Masing-masing dari ketujuh kemampuan primer itu adalah independen serta menjadikan fungsu-fungsi fikiran yang berbeda atau berdiri sendiri. Para ahli lain menyoroti teori ini sebagai teori yang mengandung kelemahan karena menganggap adanya pemisahan fungsi atau kemampuan pada mental individu. Menurut mereka, setiap kemampuan individu adalah saling berhubungan secara integratif.

5.      Teori Sampling
Untuk menjelaskan tentang inteligensi, Godfrey H. Thomson pada tahun 1916mengajukan sebuah teorinya yang disebut teori sampling. Teori ini kemudian disempurnakan lagi pada tahun 1935 dan 1948. Menurut teori ini, inteligensi merupakan berbagai kemampuan sampel. Dunia berisikan berbagai bidang pengalaman. Berbagai bidang pengalaman itu terkuasai oleh fikiran manusia tetapi tidak semuanya. Masing-masing bidang hanya terkuasai sebagian-sebagian saja dan ini mencerminkan kemampuan mental manusia. Inteligensi berupa berbagai keampuan yang overlapping. Inteligensi beroperasi dengan terbatas pada sampel dari berbagai kemampuan atau pengalaman dunia nyata. Seagai gambaran, misalnya saja dunia nyata terdapat kemampuan atau bidang-bidang pengalaman A, B, C. Inteligensi bergerak dengan sampel, misalnyasebagian A dan sebagian B. Atau dapat pula sebagian dari bidang-bidang A, B, dan C.[3]

C.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inteligensi
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi inteligensi sehingga terdapat perbedaan inteligensi seseorang dengan yang lain, ialah:
1.      Pembawaan
Pembawaan dtentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan kita yakni dapat tidaknya memecahkan suatu soal. Pertama-tama ditentukan oleh pembawaan kita, orang tua itu ada yang pintar dan ada yang bodoh. Meskipun menerima latihan dan pelajaran yang sama, perbedaan-perbedaan itu masih tetap ada.

2.      Kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik atau psikis) dapat dikatakan telah matang, jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Anak-anak tidak dapat menyelesaikan soal tertentu karena soal itu masih terlampau sukar baginya. Organ-organ tubuhnya dan fungsi jiwanya masih belum matang untuk melakukan mengenai soal itu. Kematangan berhubungan erat dengan umur.

3.      Pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi. Dapat kita bedakan pembentukan sengaja (seperti yang dilakukan di sekolah) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).

4.      Minat dan Pembawaan Khas
Minat mengarahkan perbuatan pada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan (moti) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar. Motif menggunakan dan menyelidiki dunia luar (manipulate and exploring motives). Dari manipulasi dan eksplorasi yang dilakukan terhadap dunia luar itu, lama kelamaan timbullah minat terhadap sesuatu. Apa yang menarik minat seseorang mendorongnya untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.



5.      Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode. Metode tertentu dalam memecahkan masalah. Manusia juga diberi kebebasan dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya. Dengan adanya kebebasan seperti ini, minat itu tidak selamanya menjadi syarat dalam perbuatan inteligensi.[4]

D.    Tingkah Laku Inteligensi
Dalam hal ini yang dimaksud dengan tingkah laku inteligensi adalah peryataan dan aktivitas manusia yang dengannya dapat diketahui, diukur, dan ditentukan apa dan bagaimana keadaan inteligensi.
Inteligensi sebagai suatu aktivitas oleh G.D. Stonddard dinyatakan adalah kegiatan untuk memecahkan problem yang demikian nyata, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Problem itu harus tergolong sulit.
2.      Problem itu mengandung kerumitan atau kompleks.
3.      Prolem itu memerlukan daya mengabstraksi.
4.      Tingkah laku untuk melaksanakan pemecahan prblem itu harus cepat.
5.      Tingkah laku dalam melaksanakan pemecahan problem sadar tertuju kepada tujuan tertentu.
6.      Problem itu memiliki nilai sosial.
7.      Cara yang digunakan dalam pemecahan problem itu orisinal atau asli, yaitu penemuan sendiri.
Salah satu penegasan tentang inteligensi Ahmad Mudzakir menyebutkan bahwa inteligensi sebagai kemauan yang dibawa sejak lahir, yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Untuk itu seseorang ketika menghadapi suatu masalah, dan dengan dasar tersebutlah maka para ahli menggolongkan aktiitas dari inteligensi tersebut.
Dalam usaha membedakan bentuk tingkah laku atau aktivitas memang kadang sulit dilakukan. Namun demikian, menurut Ahmad Thonthowi dapat dibedakan dalam dua kelompok, yakni
a.       Aktivitas pada tingkat inteligensi yang rendah. Adalah aktivitas yang meliputi seluruh aktivitas manusia dan hewan, aktivitas itu bersifat nyata atau kongkrit.
b.      Aktivitas pada tingkat inteligensi yang tinggi. Adalah aktivitas yang timbul pada situasi yang mengandung proses-proses konseptual dan fantasi kontruktir. Dalam hal ini sifatnya tidak langsung dan abstrak serta diperlukan ide-ide dan pengertian dengan mempergunakan bermacam-macam simbolisme.
Sampai di sini jelas bahwa inteligensi pada konsepnya adalah abstrak, namun dapat dilihat dan dipahami ketika tingkah laku manusia menunjukkan adanya usaha atau aktivitas seperti memecahkan masalah yang masalah tersebut memiliki karakteristik tersendiri.[5]

E.     Pengukuran Inteligensi
Adapun tes inteligensi yang standar antara lain:
1.      Tes Wechsler
Tes intelegensi ini dibuat oleh Wachsler Bellevue pada tahun 1939 terdiri dari dua macam, yakni untuk umur 16 tahun keatas disebut dengan Adult Intelligence Scale (WAIS) dan tes untuk anak-anak yaitu Wechslr Intelligence Scale for Children (WISC).
           Tes yang dikembangkan ini meliputi dua sub yaitu verbal dan performance (tes lisan dan perbuatan atau keterampilan). Tes lisan meliputi tes pengetahuan umum, pemahaman, ingatan, menari kesamaan, hitungan, dan bahasa. Sedangkan tes keterampilan kegiatan seperti menyusun gambar, melengkapi gambar, menyusun balok kecil, menyusun bentuk gambar, dan sandi.
           Adapun bentuk subtest dari Adult Intelligence Scale (WAIS) dapat di lihat berikut ini:[6]
Tabel 1. Subtest WAIS
Verbal Subtest
Performance subtest
Information
Picture arangement
General
Picture complation
Comprehension
Block design
Memory span
Object assembly
Arithmetic reasoning
Digit symbol (coding)
Similarities

Vovabulary


2.      Tes Progressive Matrices
tes ini diciptakan oleh L.S Penrose dan J. C. Lave dari Inggris pada tahun 1938. Dimana dengan tes ini dapat diberikan secara kelompok orang sekaligus untuk diukur atau diketahui tingkat inteligensinya.

3.      Tes Army Alpha dan Beta
Tes ini digunakan untuk tes para calon tentara di Amerika Serikat. Dimana ter army alpha khusus untuk calon tentara yang pandai membaca, sedangkan army beta untuk yang tidak pandai membaca. Tes ini diciptakan awalnya untuk memenuhi keperluan yang mendesak dengan menseleksi calon tentara waktu perang dunia II.[7]

4.      Tes Binet-Simon
Tahun 1904, Menteri Pendidikan Perancis meminta psikolog Alred Binet untuk mencari suatu metode guna menentukan siswa-siswa yang mana yang tidak menerima keuntungan dari pengajaran di sekolah reguler. Binet dan muridnya, Theophile Simon, mengembangkan sebuah tes kecerdasan untuk memenuhi permintaan ini. Tes tersebut terdiri dari 30 soal, mulai dari kemampuan untuk menyentuh hidung atau telinga seseorang, sampai kemampuan menggambar desain-desain dari memori dan mendefinisikan konsep-konsep abstrak.
Tes binet mempresentasikan kemajuan besar dalam usaha-usaha awal untuk mengukur kecerdasan. Binet menekankan bahwa inti dari kecerdasan terdiri atas proses kognitif yang kompleks seperti memori, imajinasi, pemahaman, dan penilaian. Selain itu, ia yakin bahwa pendekatan perkembangan bersifat krusial untuk memahami kecerdasan. Ia menyatakan bahwa kemampuan intelektual anak meningkat berdasarkan usia. Oleh karena itu ia menguji soal-soal potensial dan menentukan usia dimana seorang anak pada umumnya dapat menjawabnya dengan benar. Binet mengembangkan konsep mental age (MA), yakni tingkat perkembangan mental individu relatif dari orang lain. Bagi anak-anak pada umumnya, MA bersesuaian dengan chronological age (CA), yang merupakan usia sejak kelahiran. Seorang anak yang pandai memiliki MA yang sangat tinggi melebihi CA, seorang anak yang bodoh memiliki MA sangat rendah, di bawah CA.[8]
Adapun rumus untuk menentukan beberapa tingkat IQ (Inteligensi Quotient) seseorang digunakan dengan rumus:
Sebagai contoh, berikut dikemukakan tes IQ pada seorang anak usia 7 tahun 6 bulan kemudian ianya dites pertama sekali dengan tes untuk anak usia  tahun, kemudian tes untuk anak 6 tahun dan seterusnya sampai kepada usia tertinggi sehingga ia tidak mengetahui seluruh jawaban dari tes usia tersebut dalam hal ini tes untuk 11 tahun.
Tabel 1. Tabulasi Penghitungan Tes IQ
Usia
Tugas-tugas
Hasil
1
2
3
4
5
6
5 tahun
X
X
X
X
X
X
-
6 tahun
X
X
X
X
X
X
6
7 tahun
X
X
X
X
-
X
5/6
8 tahun
X
X
X
X
-
-
4/6
9 tahun
X
X
-
-
-
-
2/6
10 tahun
X
-
-
-
-
-
1/6
11 tahun
-
-
-
-
-
-
-
Total
6,12/6

          Yang terjadi adalah bahwa tes untuk usia 5 dan 6 tahun anak yang dites dapat menjawab 6 item. Kemudian pada tes usia 7 tahun, anak hanya dapat  item saja, sampai pada tes usia 11 tahun, anak tidak menjawab satu tes pun. Penghitungan yang dilakukan adalah dengan rumus seperti tercantum di atas:
Setelah diperoleh nilai angka sebesar 106,9 maka diadaptasi dengan tingkatan-tingkatan angka yang dapat diinterpretasikan untuk melihat IQ seseorang pada tabel berikut:
Tabel 2. Tabel Interpretasi Angka pada IQ
IQ
Klasifikasi
Presentasi dari Populasi
Di atas 140
Genius
1,5
130-139

3,0
120-129
Veri Superior
7,0
110-119
Superior
14,5
100-109

25,5
90-99
Average
25,5
80-89
Dull Average
14,5
70-79
Borderline
7,0
60-69

3,0
Di bawah 60
Mental Difidcient
0,0
Total
100%

Sampai di sini dapat diketahui bahwa IQ seorang anak yang dites maka hasilnya adalah IQ=106,9 atau tingkat kemampuannya Average atau dalam hal ini rata-rata atas.






Contoh pertanyaan-pertanyaan dalam tes inteligensi
1.      Seandainya semua batu permata dibuat dari karet busa, manakah penyelesaian yang tepat bagi analogi di bawah ini?
Kayu: Keras :: Berlian :...
a.       Berharga         b. Lembut        c. Rapuh          d. Paling Keras
2.      Janet, Barbara, dan Elaine adalah ibu rumah tangga, pengacara, dan psikiater. Janet tinggal di sebelah sang ibu rumah tangga. Barbara adalah teman baik sang psikiater. Elaine dahulu ingin menjadi seorang pengacara, tetapi memutuskan untuk membatalkannya. Janet melihat barbara dalam dua hari terakhir ini tetapi tidak melihat sang psikiater. Dalam kasus ini, janet, barbara, dan elaine adalah seorang...
a.       Ibu rumah tangga, psikiater, pengacara
b.      Psikiater, pengacara, ibu rumah tangga
c.       Psikiater, ibu rumah tangga, pengacara
d.      Pengacara, ibu rumah tangga, psikiater
3.      Josh dan sandy sedang berdiskusi mengenai 2mtin baseball, yaitu tim merah dan tim biru. Sandy bertanya kepada Josh mengapa tim merah mempunyai peluang yang lebih besar untuk memenangkan turnamen tahun ini dibanding tim biru. Kemudian Josh menjawab, “jika setiap individu dalam tim merah lebih baik dari setiap individu dalam tim biru, sudah pasti tim merah lebih baik dari tim biru”. Josh berasumsi bahwa...
a.       Kesimpulan bahwa kondisi tiap-tiap bagian akan menggambarkan kondisi secara keseluruhan, dan asumsi ini adalah benar.
b.      Kesimpulan bahwa kondisi tiap-tiap bagian akan menggambarkan kondisi secara keseluruhan, dan asumsi ini adalah salah.
c.       Kesimpulan bahwa kondisi tiap-tiap bagian akan menggambarkan kondisi tiap-tiap bagian, dan asumsi ini adalah benar.
d.      Kesimpulan bahwa kondisi tiap-tiap bagian akan menggambarkan kondisi tiap-tiap bagian, dan asumsi ini adalah salah.[9]


BAB III
SIMPULAN

Inteligensi merupakan kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Selain itu, intelegensi juga merupakan problem solving dalam segala situasi yang baru atau yang mengandung masalah. Perlu diketahui bahwa problem solving dalam segala situasi ini mencakup permasalahan pribadi, sosial, akademik-kultural, serta ekonomi keluarga.
Adapun 5 teori yang berkaitan dengan inteligensi adalah teori Uni-Factor, Two-Factors, Multi-Factors, Primary-Mental-Abilities, dan Sampling.
Faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah faktor pembawaan, kematangan, pembentukan, minat dan pembawaan khas, serta kebebasan.
Tingkah laku inteligensi adalah tahapan ppemecahan masalah yang berbeda di setiap individu. Pemecahan masalah yang sulit, rumit, kompleks, dan sebagainya.  Proses pemecahan masalah yang harus cepat dan menggunakan cara yang orisinil atau asli dari hasil inteligensi yang dimiliki.
Ada beberapa tes standar yang dapat digunakan dalam mengukur inteligensi seseorang yaitu tes wechsler, progressive matrices, army alpha dan beta, serta binet-simon.


DAFTAR PUSTAKA

Mardianto. 2013. Psikologi Pendidikan. Medan: Perdana Publishing.
Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Shaleh, Abdul Rahman. 2008. Psikologi, Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam. Jakarta: Kencana Prenanda Media Group.
Soemanto, Wasty. 2006. Psikologi Pendidikan, Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Solso, Robert L, dkk. 2007. Psikologi Kognitif, Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga.
Walgito, Bimo. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.


[1] Mardianto, Psikologi Pendidikan, Perdana Publishing, Medan, 2013, h. 98-99.
[2] Soemanto Wasty, Psikologi Pendidikan (Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan), Rineka Cipta, Jakarta, 2006, h. 141-143.
[3] Ibid, h. 143-146.
[4] Abdul Rahman Sholeh, Psikologi (Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam), Kencana Prenanda Media Group, Jakarta, 2008, h. 260-262.
[5] Mardianto, op.cit, h. 101-103.
[6] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Andi, Jakarta, 2010, h. 221-222.
[7] Mardianto, op.cit, h. 104.
[8] John W Santrock, Perkembangan Anak, Erlangga, Jakarta, 2007, h. 318.
[9] Robert L. Solso, dkk, Psikologi Kognitif (Edisi kedelapan), Erlangga, Jakarta, 2007, h. 463.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts