BAB I
PENDAHULUAN
Sehubungan dengan luasnya makna kata inteligensi,
maka para psikolog tidak setuju pada satu defenisi saja. Tetapi bagaimanapun
juga inti dari topik ini adalah kemampuan seseorang dalam beradaptasi dengan
lingkungan dan pemecahan masalah. Lantas, teori-teori apa yang berkaitan dengan
Inteligensi? Iteligensi tidak hadir begitu saja, lalu apa faktor-faktor yang
mempengaruhi inteligensi? Apakah semua manusia dapat menyelesaikan masalahnya
dengan cara yang sama? Tentu tidak. Karena, tingkat inteligensi manusia
berbeda. Oleh karena itu, bagaimana tingkah laku dari inteligensi itu sendiri
sehingga dapat menyinggung kata “aktivitas”? Banyak orang-orang yang melakukan
tes IQ untuk mengetahui tingkat inteligensinya. Bagaimana cara mengukurnya?
Semua akan dipaparkan dalam makalah ini.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Inteligensi?
2. Teori-teori apakah yang berkaitan dengan
Inteligensi?
3. Faktor-faktor apa yang dapat mempengaruhi
Inteligensi?
4. Bagaimana tingkah laku Inteligensi?
5. Bagaimana cara mengukur Inteligensi, dan jenis-jenis
tes apa yang dapat digunakan?
BAB II
PEMBAHASAN
Inteligensi
terkait erat dengan tingkat kemampuan sesorang menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, baik itu kemampuan secara fisik maupun non fisik. Banyak hal
yang telah diteliti orang tentang kemampuan ini,sehingga melahirkan rumus
tentang bagaimana mengukur tingkat intelegensi sesorang.
A.
Pengertian Inteligensi
Banyak
defenisi yang digunakan para ahli tentang intelegensi, kadang kala pengertian
yang mereka bangun berdasarkan hasil penelitian atau pendekatan yang dilakukan. Menurut Williem Stern Intelegensi adalah
kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru dngan menggunakan
alat-alat berfikir yang sesuai dengan tujuan.[1]
Super
dan Cites mengemukakan suatu defenisi yang sering dipakai oleh sementara orang
sebagai berikut : intelligence has
frequently been defined as the ability to adjust to the environment or to learn
from experince. (Inteligensi telah sering didefenisikan sebagai kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungan atau belajar dari pengalaman). Pengertian
tersebut masih terlalu luas. Oleh karena itu, Garrett mencoba mengemukakan
defenisi inteligensi yang lebih operasional sebagai berikut: intelligence, includes at least the
abilities demanded in the solution of problems which require the comprehension
and use of symbols. (Inteligensi itu setidak-tidaknya mencakup
kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk pemecahan masalah-masalah yang
memerlukan pengertian serta menggunakan simbol-simbol).
Defenisi
lain tentang inteligensi dikemukakan oleh Bischof, seorang Psikolog Amerika.
Bischof mengemukakan defenisi intelegensi dalam artian yang lebih luwes, namun
bersifat operasional dan fungsional bagi kehidupan manusia sehari-hari, yakni
sebagai berikut: intelligence is the
ability to solve problems o all kinds. (Inteligensi adalah kemampuan untuk
memecahkan segala jenis masalah). Dalam dua defenisi terakhir tersirat bahwa
inteligensi merupakan kemampuan problem
solving dalam segala situasi yang baru atau yang mengandung masalah. Perlu
diketahui bahwa problem solving dalam
segala situasi ini mencakup permasalahan pribadi, sosial, akademik-kultural,
serta ekonomi keluarga.[2]
B.
Teori-teori Tentang Inteligensi
1.
Teori Uni-Factor
Pada
tahun 1991, Wilhelm Stem memperkenalkan suatu teori tentang inteligensi yang
disebut “uni factor theory”. Teori
ini dikenal pula sebagai teori kapasitas umum. Menurut teori ini, inteligensi
merupakan kapasitas atau kemampuan umum. Karena itu, cara kerja inteligensi
juga bersifat umum. Reaksi atau tindakan seseorang dalam menyesuaikan diri
terhadap lingkungan atau memecahkan sesuatu masalah adalah bersifat umum pula.
Kapasitas umum itu timbul akibat pertumbuhan fisiologis ataupun akibat belajar.
Kapasitas umum (gene, ral capacity)
yang ditimbulkan itu lazim dikemukakan dengan kode g.
2.
Teori Two-Factors
Ada
tahun 1904 yaitu sebelum Stem, seorang ahli matematika bernama Charles
Spearman, mengajukan sebuah teori tentang inteligensi. Teori tersebut terkenal
dengan sebutan, “Two Kinds of Factors Theory”. Spearman mengembangkan teori
inteligensi berdasarkan suatu faktor mental umum yang diberi kode “g” serta
faktor-faktor spesifik yang diberi tanda “s”. Faktor “g” mewakili kekuatan
mental umum yang berungsi dalam setiap tingkah laku mental indiidu, sedangkan faktor-faktor
“s” menentukan tindakan-tindakan mental untuk mengatasi permasalahan.
Orang
yang intelegensinya mempunyai faktor “g” luas, memiliki kapasitas untuk
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Dia dapat mempelajari bermacam-macam
pelajaran seperti matematika, bahasa, sains, sejarah, dan sebagainya dengan
menggunakan berbagai simbol abstrak. Orang yang mempunyai faktor “g” sedang
atau rata-rata, ia mempunyai kemampuan sedang untuk mempelajari bidang-bidang
studi. Luasnya faktor “g” ditentukan oleh kerjanya otak secara unit atau
keseluruhan. Faktor “s” didasarkan pada gagasan bahwa fungsi otak tergantung
pada ada dan tidaknya struktur atau koneksi yang tepat bagi situasi atau
masalah tertentu yang khusus. Dengan demikian, luasnya faktor “s” mencerminkan
kerja khusus dari pada otak, bukan karena struktur khusus otak. Faktor “s”
lebih tergantung kepada organisasi neurologis yang berhubungan dengan
kemampuan-kemampuan khusus.
3.
Teori
Multi-Factors
Teori
ini dikembangkan oleh E.L Thorndike. Teori ini tidak berhubungan dengan konsep general ability atau aktor “g”. Menurut
teori ini, intelegensi terdiri dari bentuk hubungan-hubungan neural antara
stimulus dan respon. Hubungan-hubungan neural khusus inilah yang mengarahkan
tingkah laku individu. Ketika sesorang dapat menyebutkan sebuah kata, menghafal
sajak, menjumlahkan bilangan, atau melakukan pekerjaan, itu berarti bahwa ia
dapat melakukan itu karena terbentuknya koneksi-koneksi di dalam sistem saraf
akibat belajar atau latihan. Manusia diperkirakan memiliki 13 milyar urat saraf
sehingga memungkinkan adanya hubungan neural yang banyak sekali. Jadi,
inteligensi menurut teori ini adalah jumlah koneksi aktual dan potensial di
dalam sitem saraf.
4.
Teori
Primary-mental-Abilities
LL.
Thurstone telah berusaha menjelaskan tentang organisasi ineligensi yang
abstrak, ia dengan menggunakan tes-tes mental serta teknik-teknik statistik
khusus membagi inteligensi menjadi tujuh kemampuan primer, yaitu:
a.
Kemampuan
numerikal/matematis.
b.
Kemampuan verbal
atau berbahasa.
c.
Kemampuan
abstraksi berupa visualisasi atau berfikir.
d.
Kemampuan menghubungkan
kata-kata.
e.
Kemampuan
membuat keputusan, baik induktif ataupun deduktif.
f.
Kemampuan
mengenal atau mengamati.
g.
Kemampuan
mengingat.
Menurut teori “Primary-Mental-Abilities”
ini, inteligensi merupakan penjelmaan dari ketujuh kemampuan primer di atas.
Masing-masing dari ketujuh kemampuan primer itu adalah independen serta
menjadikan fungsu-fungsi fikiran yang berbeda atau berdiri sendiri. Para ahli
lain menyoroti teori ini sebagai teori yang mengandung kelemahan karena
menganggap adanya pemisahan fungsi atau kemampuan pada mental individu. Menurut
mereka, setiap kemampuan individu adalah saling berhubungan secara integratif.
5.
Teori Sampling
Untuk
menjelaskan tentang inteligensi, Godfrey H. Thomson pada tahun 1916mengajukan
sebuah teorinya yang disebut teori sampling. Teori ini kemudian disempurnakan
lagi pada tahun 1935 dan 1948. Menurut teori ini, inteligensi merupakan
berbagai kemampuan sampel. Dunia berisikan berbagai bidang pengalaman. Berbagai
bidang pengalaman itu terkuasai oleh fikiran manusia tetapi tidak semuanya.
Masing-masing bidang hanya terkuasai sebagian-sebagian saja dan ini
mencerminkan kemampuan mental manusia. Inteligensi berupa berbagai keampuan
yang overlapping. Inteligensi
beroperasi dengan terbatas pada sampel dari berbagai kemampuan atau pengalaman
dunia nyata. Seagai gambaran, misalnya saja dunia nyata terdapat kemampuan atau
bidang-bidang pengalaman A, B, C. Inteligensi bergerak dengan sampel,
misalnyasebagian A dan sebagian B. Atau dapat pula sebagian dari bidang-bidang
A, B, dan C.[3]
C.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inteligensi
Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi inteligensi sehingga terdapat perbedaan inteligensi
seseorang dengan yang lain, ialah:
1.
Pembawaan
Pembawaan
dtentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri yang dibawa sejak lahir. Batas
kesanggupan kita yakni dapat tidaknya memecahkan suatu soal. Pertama-tama
ditentukan oleh pembawaan kita, orang tua itu ada yang pintar dan ada yang
bodoh. Meskipun menerima latihan dan pelajaran yang sama, perbedaan-perbedaan
itu masih tetap ada.
2.
Kematangan
Tiap
organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ
(fisik atau psikis) dapat dikatakan telah matang, jika ia telah mencapai kesanggupan
menjalankan fungsinya masing-masing. Anak-anak tidak dapat menyelesaikan soal
tertentu karena soal itu masih terlampau sukar baginya. Organ-organ tubuhnya
dan fungsi jiwanya masih belum matang untuk melakukan mengenai soal itu.
Kematangan berhubungan erat dengan umur.
3.
Pembentukan
Pembentukan
ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan
inteligensi. Dapat kita bedakan pembentukan sengaja (seperti yang dilakukan di
sekolah) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).
4.
Minat dan
Pembawaan Khas
Minat
mengarahkan perbuatan pada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan
itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan (moti) yang mendorong manusia untuk
berinteraksi dengan dunia luar. Motif menggunakan dan menyelidiki dunia luar (manipulate and exploring motives). Dari
manipulasi dan eksplorasi yang dilakukan terhadap dunia luar itu, lama kelamaan
timbullah minat terhadap sesuatu. Apa yang menarik minat seseorang mendorongnya
untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.
5.
Kebebasan
Kebebasan
berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode. Metode tertentu dalam
memecahkan masalah. Manusia juga diberi kebebasan dalam memilih masalah sesuai
dengan kebutuhannya. Dengan adanya kebebasan seperti ini, minat itu tidak selamanya
menjadi syarat dalam perbuatan inteligensi.[4]
D.
Tingkah Laku Inteligensi
Dalam
hal ini yang dimaksud dengan tingkah laku inteligensi adalah peryataan dan
aktivitas manusia yang dengannya dapat diketahui, diukur, dan ditentukan apa
dan bagaimana keadaan inteligensi.
Inteligensi
sebagai suatu aktivitas oleh G.D. Stonddard dinyatakan adalah kegiatan untuk
memecahkan problem yang demikian nyata, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Problem itu
harus tergolong sulit.
2.
Problem itu
mengandung kerumitan atau kompleks.
3.
Prolem itu
memerlukan daya mengabstraksi.
4.
Tingkah laku
untuk melaksanakan pemecahan prblem itu harus cepat.
5.
Tingkah laku
dalam melaksanakan pemecahan problem sadar tertuju kepada tujuan tertentu.
6.
Problem itu
memiliki nilai sosial.
7.
Cara yang digunakan
dalam pemecahan problem itu orisinal atau asli, yaitu penemuan sendiri.
Salah satu penegasan tentang inteligensi Ahmad
Mudzakir menyebutkan bahwa inteligensi sebagai kemauan yang dibawa sejak lahir,
yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Untuk itu
seseorang ketika menghadapi suatu masalah, dan dengan dasar tersebutlah maka
para ahli menggolongkan aktiitas dari inteligensi tersebut.
Dalam usaha membedakan bentuk tingkah laku atau
aktivitas memang kadang sulit dilakukan. Namun demikian, menurut Ahmad
Thonthowi dapat dibedakan dalam dua kelompok, yakni
a.
Aktivitas pada
tingkat inteligensi yang rendah. Adalah aktivitas yang meliputi seluruh
aktivitas manusia dan hewan, aktivitas itu bersifat nyata atau kongkrit.
b.
Aktivitas pada tingkat
inteligensi yang tinggi. Adalah aktivitas yang timbul pada situasi yang
mengandung proses-proses konseptual dan fantasi kontruktir. Dalam hal ini
sifatnya tidak langsung dan abstrak serta diperlukan ide-ide dan pengertian
dengan mempergunakan bermacam-macam simbolisme.
Sampai di sini jelas bahwa inteligensi pada
konsepnya adalah abstrak, namun dapat dilihat dan dipahami ketika tingkah laku
manusia menunjukkan adanya usaha atau aktivitas seperti memecahkan masalah yang
masalah tersebut memiliki karakteristik tersendiri.[5]
E.
Pengukuran Inteligensi
Adapun tes inteligensi
yang standar antara lain:
1.
Tes Wechsler
Tes
intelegensi ini dibuat oleh Wachsler Bellevue pada tahun 1939 terdiri dari dua
macam, yakni untuk umur 16 tahun keatas disebut dengan Adult Intelligence Scale (WAIS) dan tes untuk anak-anak yaitu Wechslr Intelligence Scale for Children
(WISC).
Tes yang dikembangkan ini meliputi dua sub yaitu verbal
dan performance (tes lisan dan
perbuatan atau keterampilan). Tes lisan meliputi tes pengetahuan umum,
pemahaman, ingatan, menari kesamaan, hitungan, dan bahasa. Sedangkan tes
keterampilan kegiatan seperti menyusun gambar, melengkapi gambar, menyusun
balok kecil, menyusun bentuk gambar, dan sandi.
Adapun bentuk subtest dari Adult Intelligence Scale (WAIS) dapat di lihat berikut ini:[6]
Tabel 1. Subtest
WAIS
Verbal Subtest
|
Performance subtest
|
Information
|
Picture
arangement
|
General
|
Picture
complation
|
Comprehension
|
Block
design
|
Memory
span
|
Object
assembly
|
Arithmetic
reasoning
|
Digit
symbol (coding)
|
Similarities
|
|
Vovabulary
|
|
2.
Tes Progressive
Matrices
tes ini diciptakan oleh
L.S Penrose dan J. C. Lave dari Inggris pada tahun 1938. Dimana dengan tes ini
dapat diberikan secara kelompok orang sekaligus untuk diukur atau diketahui
tingkat inteligensinya.
3.
Tes Army Alpha
dan Beta
Tes ini digunakan untuk
tes para calon tentara di Amerika Serikat. Dimana ter army alpha khusus untuk
calon tentara yang pandai membaca, sedangkan army beta untuk yang tidak pandai
membaca. Tes ini diciptakan awalnya untuk memenuhi keperluan yang mendesak dengan
menseleksi calon tentara waktu perang dunia II.[7]
4.
Tes Binet-Simon
Tahun
1904, Menteri Pendidikan Perancis meminta psikolog Alred Binet untuk mencari
suatu metode guna menentukan siswa-siswa yang mana yang tidak menerima
keuntungan dari pengajaran di sekolah reguler. Binet dan muridnya, Theophile
Simon, mengembangkan sebuah tes kecerdasan untuk memenuhi permintaan ini. Tes
tersebut terdiri dari 30 soal, mulai dari kemampuan untuk menyentuh hidung atau
telinga seseorang, sampai kemampuan menggambar desain-desain dari memori dan
mendefinisikan konsep-konsep abstrak.
Tes
binet mempresentasikan kemajuan besar dalam usaha-usaha awal untuk mengukur
kecerdasan. Binet menekankan bahwa inti dari kecerdasan terdiri atas proses
kognitif yang kompleks seperti memori, imajinasi, pemahaman, dan penilaian.
Selain itu, ia yakin bahwa pendekatan perkembangan bersifat krusial untuk
memahami kecerdasan. Ia menyatakan bahwa kemampuan intelektual anak meningkat
berdasarkan usia. Oleh karena itu ia menguji soal-soal potensial dan menentukan
usia dimana seorang anak pada umumnya dapat menjawabnya dengan benar. Binet
mengembangkan konsep mental age (MA),
yakni tingkat perkembangan mental individu relatif dari orang lain. Bagi
anak-anak pada umumnya, MA bersesuaian dengan chronological age (CA), yang merupakan usia sejak kelahiran.
Seorang anak yang pandai memiliki MA yang sangat tinggi melebihi CA, seorang
anak yang bodoh memiliki MA sangat rendah, di bawah CA.[8]
Adapun
rumus untuk menentukan beberapa tingkat IQ (Inteligensi Quotient) seseorang
digunakan dengan rumus:
Sebagai
contoh, berikut dikemukakan tes IQ pada seorang anak usia 7 tahun 6 bulan
kemudian ianya dites pertama sekali dengan tes untuk anak usia tahun, kemudian tes untuk anak 6 tahun dan
seterusnya sampai kepada usia tertinggi sehingga ia tidak mengetahui seluruh
jawaban dari tes usia tersebut dalam hal ini tes untuk 11 tahun.
Tabel 1. Tabulasi
Penghitungan Tes IQ
Usia
|
Tugas-tugas
|
Hasil
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
||
5 tahun
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
-
|
6 tahun
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
X
|
6
|
7 tahun
|
X
|
X
|
X
|
X
|
-
|
X
|
5/6
|
8 tahun
|
X
|
X
|
X
|
X
|
-
|
-
|
4/6
|
9 tahun
|
X
|
X
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2/6
|
10 tahun
|
X
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1/6
|
11 tahun
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Total
|
6,12/6
|
Yang
terjadi adalah bahwa tes untuk usia 5 dan 6 tahun anak yang dites dapat
menjawab 6 item. Kemudian pada tes usia 7 tahun, anak hanya dapat item saja, sampai pada tes usia 11 tahun,
anak tidak menjawab satu tes pun. Penghitungan yang dilakukan adalah dengan
rumus seperti tercantum di atas:
Setelah
diperoleh nilai angka sebesar 106,9 maka diadaptasi dengan tingkatan-tingkatan
angka yang dapat diinterpretasikan untuk melihat IQ seseorang pada tabel
berikut:
Tabel 2. Tabel
Interpretasi Angka pada IQ
IQ
|
Klasifikasi
|
Presentasi
dari Populasi
|
Di atas 140
|
Genius
|
1,5
|
130-139
|
|
3,0
|
120-129
|
Veri
Superior
|
7,0
|
110-119
|
Superior
|
14,5
|
100-109
|
|
25,5
|
90-99
|
Average
|
25,5
|
80-89
|
Dull Average
|
14,5
|
70-79
|
Borderline
|
7,0
|
60-69
|
|
3,0
|
Di bawah 60
|
Mental
Difidcient
|
0,0
|
Total
|
100%
|
Sampai di sini dapat diketahui bahwa IQ seorang anak
yang dites maka hasilnya adalah IQ=106,9 atau tingkat kemampuannya Average atau
dalam hal ini rata-rata atas.
Contoh
pertanyaan-pertanyaan dalam tes inteligensi
1.
Seandainya semua
batu permata dibuat dari karet busa, manakah penyelesaian yang tepat bagi
analogi di bawah ini?
Kayu: Keras :: Berlian
:...
a.
Berharga b. Lembut c. Rapuh d.
Paling Keras
2.
Janet, Barbara,
dan Elaine adalah ibu rumah tangga, pengacara, dan psikiater. Janet tinggal di
sebelah sang ibu rumah tangga. Barbara adalah teman baik sang psikiater. Elaine
dahulu ingin menjadi seorang pengacara, tetapi memutuskan untuk membatalkannya.
Janet melihat barbara dalam dua hari terakhir ini tetapi tidak melihat sang
psikiater. Dalam kasus ini, janet, barbara, dan elaine adalah seorang...
a.
Ibu rumah
tangga, psikiater, pengacara
b.
Psikiater,
pengacara, ibu rumah tangga
c.
Psikiater, ibu
rumah tangga, pengacara
d.
Pengacara, ibu
rumah tangga, psikiater
3.
Josh dan sandy
sedang berdiskusi mengenai 2mtin baseball, yaitu tim merah dan tim biru. Sandy
bertanya kepada Josh mengapa tim merah mempunyai peluang yang lebih besar untuk
memenangkan turnamen tahun ini dibanding tim biru. Kemudian Josh menjawab,
“jika setiap individu dalam tim merah lebih baik dari setiap individu dalam tim
biru, sudah pasti tim merah lebih baik dari tim biru”. Josh berasumsi bahwa...
a.
Kesimpulan bahwa
kondisi tiap-tiap bagian akan menggambarkan kondisi secara keseluruhan, dan
asumsi ini adalah benar.
b.
Kesimpulan bahwa
kondisi tiap-tiap bagian akan menggambarkan kondisi secara keseluruhan, dan
asumsi ini adalah salah.
c.
Kesimpulan bahwa
kondisi tiap-tiap bagian akan menggambarkan kondisi tiap-tiap bagian, dan
asumsi ini adalah benar.
d.
Kesimpulan bahwa
kondisi tiap-tiap bagian akan menggambarkan kondisi tiap-tiap bagian, dan
asumsi ini adalah salah.[9]
BAB III
SIMPULAN
Inteligensi
merupakan kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Selain
itu, intelegensi juga merupakan problem
solving dalam segala situasi yang baru atau yang mengandung masalah. Perlu
diketahui bahwa problem solving dalam
segala situasi ini mencakup permasalahan pribadi, sosial, akademik-kultural,
serta ekonomi keluarga.
Adapun
5 teori yang berkaitan dengan inteligensi adalah teori Uni-Factor, Two-Factors,
Multi-Factors, Primary-Mental-Abilities, dan Sampling.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi inteligensi adalah faktor pembawaan, kematangan, pembentukan,
minat dan pembawaan khas, serta kebebasan.
Tingkah
laku inteligensi adalah tahapan ppemecahan masalah yang berbeda di setiap
individu. Pemecahan masalah yang sulit, rumit, kompleks, dan sebagainya. Proses pemecahan masalah yang harus cepat dan
menggunakan cara yang orisinil atau asli dari hasil inteligensi yang dimiliki.
Ada
beberapa tes standar yang dapat digunakan dalam mengukur inteligensi seseorang
yaitu tes wechsler, progressive matrices, army alpha dan beta, serta
binet-simon.
DAFTAR PUSTAKA
Mardianto. 2013. Psikologi
Pendidikan. Medan: Perdana Publishing.
Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Shaleh, Abdul Rahman. 2008. Psikologi, Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam. Jakarta: Kencana
Prenanda Media Group.
Soemanto, Wasty. 2006. Psikologi Pendidikan, Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Solso, Robert L, dkk. 2007. Psikologi Kognitif, Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga.
Walgito, Bimo. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.
[1] Mardianto, Psikologi Pendidikan, Perdana Publishing, Medan, 2013, h. 98-99.
[2] Soemanto Wasty, Psikologi Pendidikan (Landasan Kerja
Pemimpin Pendidikan), Rineka Cipta, Jakarta, 2006, h. 141-143.
[3] Ibid, h. 143-146.
[4] Abdul Rahman Sholeh, Psikologi (Suatu Pengantar dalam Perspektif
Islam), Kencana Prenanda Media Group, Jakarta, 2008, h. 260-262.
[5] Mardianto, op.cit, h. 101-103.
[6] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Andi, Jakarta,
2010, h. 221-222.
[7] Mardianto, op.cit, h. 104.
[8] John W Santrock, Perkembangan Anak, Erlangga, Jakarta,
2007, h. 318.
[9] Robert L. Solso, dkk, Psikologi Kognitif (Edisi kedelapan),
Erlangga, Jakarta, 2007, h. 463.
0 komentar:
Posting Komentar