PENDAHULUAN
Berhitung merupakan
kebutuhan bagi kita. Selain untuk melakukan transaksi jual beli, membuat
perencanaan kedepan, dan lain-lain. Namun, kita tidak mengetahui bagaimana
sebenarnya keadaan berhitung sebelum dan setelah adanya bilangan nol. Di dalam
makalah ini di bahas bagaimana sebenarnya berhitung setelah adanya bilangan
nol.
Makalah ini berisi tentang
tiga zaman yang berpengaruh besar hingga zaman sekarang, yaitu zaman India
Kuno, Cina Kuno, dan Arab Kuno. Bagaimana sebenarnya keadaan di tiga zaman
tersebut? Lantas bagaimana pula cara berhitung di tiga zaman tersebut? Adakah
perbedaan dengan cara berhitung zaman sekarang? Makalah ini akan membantu
pembaca agar pembaca mengetahui dan mengerti.
PEMBAHASAN
A. India Kuno
Selain Archimedes dari Yunani Kuno, kita temukan juga
bahwa orang-orang di India Kuno gemar akan bilangan-bilangan besar. Berbagai
kisah dan dongeng mereka secara langsung maupun secara terselubung telah
menunjukkan bahwa bilangan besar muncul juga dalam berhitung mereka. Hal ini
tampak pada usaha mereka untuk member nama kepada satuan-satuan bilangan besar.
Dalam Veda yang berasal dari zaman
2.000 sampai 3.000 tahun lalu telah terdapat nama-nama bilangan berlipatan 10
sampai 1023. Antara lain kita temukan nama-nama bilangan sebagai
berikut:
1
koti = 100 x 100.000 = 107
1
ayuta = 100 koti = 109
1
niyuta = 100 ayuta = 1011
1
kankara = 100 niyuta = 1013
1
vivara = 100 kankara = 1015
Bandingkan
juga vivara ini dengan ci pada tulisan Sen-kua yang mempunyai nilai yang sama
besar dengan itu.
Selanjutnya kita temukan juga
beberapa dongeng India Kuno yang secara terselubung menampilkan
bilangan-bilangan besar sekalipun bilangan besar itu sendiri tidak mereka
sebutkan. Di antaranya terdapat dongeng catur yang cukup terkenal. Dikisahkan
bahwa pada zaman dahulu ada seorang raja yang gemar permainan. Nama raja itu adalah Shirham.
Perdana menteri raja itu bernama Sissa Ben Dahir kemudian menyembahkan kepada
Raja Shirham suatu permainan yang bernama catur. Terpesona oleh catur raja itu
kemudian ingin memberikan imbalan hadiah kepada Sissa Ben Dahir. Namun,
sebelumnya raja itu menanyakan dulu kepada perdana menterinya itu hadiah apa
saja yang diinginkannya.
Ternyata Sissa Ben Dahir menghendaki
butir-butir gandum dalam tumpukan-tumpukan sebanyak tumpukan menurut jumlah
kotak yang ada pada papan catur. Tumpukan pertama terdiri atas satu butir
gandum, tumpukan kedua terdiri atas dua butir gandum, tumpukan ketiga empat,
tumpukan keempat delapan, dan demikian seterusnya, setiap kali tumpukan itu
berisi butir gandum sebanyak dua kali butir gandum yang ada pada tumpukan
sebelumnya. Papan catur mempunyai 64 kotak sehingga gandum yang diminta Sissa
Bend Dahir pun terdiri atas 64 tumpukan pula. Mendengar permintaan itu, Raja
Shirham pun meluluskannya sambil merasa bahwa hadiah itu benar-benar tidak
berarti.
Namun, dongeng itu kemudian
mengisahkan bahwa akhirnya semua gandum di seluruh negeri tidak dapat memenuhi
Sissa Ben Dahir. Permintaan itu ternyata terlalu banyak tetapi sekalipun
demikian dongeng itu tidak mengisahkan berapa banyak gandum yang sesungguhnya
yang diperlukan untuk permitaan itu. Dan juga tidak dikisahkan bagaimana
keputusan Raja Shirham selanjutnya karena tidak dapat memberikan imbalan hadiah
yang telah disetujuinya sendiri.
Menurut perhitungan sekarang ternyata permintaan Sissa
Ben Dahir itu meliputi jumlah sebesar 18.446.744.073.709.551.615 atau lebih
dari 18.450 vivara butir gandum. Menurut catatan produksi gandum zaman sekarang
permintaan itu hanyalah dapat dipenuhi dengan seluruh hasil produksi gandum
sedunia dalam jangka waktu 2.000 tahun.
1. Bilangan Nol dalam India Kuno
Sekalipun berhitung di India
Kuno telah mengenal satuan bilangan yang besar , telah memiliki dongeng tentang
Sissa Ben Dahir dengan caturnya, dan sebagainya. Namun, sumbangan terbesar
berhitung India Kuno terhadap pengetahuan berhitung kita bukan terletak pada
bilangan-bilangan besar. Sumbangan terbesar mereka itu terletak dalam
penciptaan bilangan nol serta dalam system bilangan dengan bilangan decimal
yang dinyatakan berdasarkan system letak bilangan. Ternyata bilangan nol
mempunyai peranan yang sangat besar dalam pengetahuan berhitung sampai sekarang
ini.
Betapa besar peranan
bilangan nol dalam system berhitung kita sekarang kiranya dapat kita rasakan
sekiranya semua bilangan nol yang kini kita pergunakan kita tiadakan. Ini
berarti tidak saja system penulisan bilangan kita akan kacau melainkan juga
sebagian pengetahuan kita tentang berhitung haus pula ditiadakan. Itulah sebabnya
dalam hal bilangan nol ini Max Black menyatakan bahwa , “… sekalipun tampaknya
biasa saja namun penggunaan nol dapat dianggap sebagai salah satu ciptaan
kecendikiaan dari kebudayaan modern.”
Demikian pula Hollingdale
dan Tootill menyatakan bahwa, “… (nol) melengkapi dunia dengan catatan yang
luwes serta mudah sehingga setiap bilangan seberapa besarpun bilangan itu
adanya, dapat dinyatakan secara khas oleh lambing-lambang tersusun brurutan
yang diambil dari perangkat yang sepuluh. Bilangan nol itu memberikan tingkat
perkembangan berhitung pada masa beberapa abad sesudahnya.”
Dan Peter Baslow dalam
bukunya New Mathematical and
Philosophical Dictionary (1814) menyatakan bahwa penemuan system bilangan
nol sebagai lambing dari penggolongan (klasifikasi) yang hilang, “mungkin
adalah satu di antara langkah yang paling penting yang pernah diambil dalam
matematika, dan hal ini membangkitkan penghormatan terhadap penciptanya sebesar
seperti terhadap setiap pencipta lain dalam sejarah ilmu pengetahuan.”
Dalam satu hal kita dapat
menganggap nol sebagai suatu ungkapan ketiadaan atau kekosongan. Dan di dalam
hal lainnya kita perlu menganggap nol sebagai bilangan. Demikianlah maka Morris
Klein mengingatkan bahwa “bilangan nol harus dengan hati-hati dipisahkan dari pengertian
tentang ketiadaan.”
Nol sebagai lambang
ketiadaan atau kekosongan misalnya kita temukan dalam pernyataan nol kuda atau
nol kucing. Nol kuda atau nol kucing dapat kita artikan sebagai tiada kuda atau
tiada kucing. Demikian pula nol dalam susunan bilangan yang ditulis berdasarkan
system letak bilangan dapat kita anggap sebagai ketiadaan atau kekosongan pada
letak bilangan itu. Bilangan 507 misalnya berarti bilangan yang terdiri atas
ratusan, tiada puluhan, dan 7 satuan.
Tetapi dalam bentuk 100 x 0 kita
mulai melihat suatu peralihan dalam pengertiannya. Perkalian ini dapat berarti
suatu penjumlahan dari 100 ketiadaan namun perkalian itupun dapat kita anggap sebagai
suatu rumusan berhitung. Dan sebagai suatu rumusan berhitung nol pada 100 x 0
perlu kita anggap sebagai bilangan. Hal semacam ini tampak pula pada
rumusan-rumusan lain misalnya pada 90 atau pada 0! Dan barangkali
kita juga dapat merenungkan kembali keyakinan ayah Willie yang masih saja
percaya bahwa 5 x 0 seharusnya 5 juga.
2. Cara Berhitung di India Kuno
Dalam perkembangan berhitung India Kuno, kita temukan
beberapa cara berhitung yang menjadi cirri berhitung mereka pada waktu itu.
Pertama, mereka menggunakan cara Penjajagan dengan Jawaban Palsu seperti yang
dilakukan di Mesir Kuno. Kedua, mereka mengembangkan cara Berhitung Mundur
(Inversion). Ketiga, mereka telah menggunakan daftar ilmu ukur segitiga.
Keempat, cara berhitung mereka telah menggunakan bilangan negative yang mereka
artikan sebagai hutang. Dan kelima, mereka telah menggunakan perbandingan
dengan nama kaidah tiga.
Cara Berhitung Mundur kiranya akan lebih jelas
sekiranya kita melihatnya melalui satu contoh yang berasal dari satu soal dari
Aryabhata (pertama), sebagai berikut:
Gadis
cantik bermata cemerlang, beritahukan saya, seperti telah Anda ketahui cara
tepat dari berhitung mundur, bilangan manakah, bila dikalikan tiga, kemudian
ditambahakan dengan ¾ hasil kalinya, kemudian dibagi 7, dikurangi dari hasil bagi
itu, dikalikan dengan nilainya sendiri, dikurangi 52, dicabut akar duanya,
ditambah 8, dan dibagi 10, menjadi 2?
Pemecahan
soal ini degan cara Berhitung Mundur dilakukan dari bilangan 2. Selanjutnya,
itu mundur secara berurut dengan mengganti bagi dengan kali, kali dengan bagi,
tambah dengan kurang, kurang dengan tambah, pangkat dua dengan akar dua, dan
akar dua dengan pangkat dua.. demikianlah soal ini dapat dipecahkan melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
2
x 10 = 20; 20 – 8 = 12; 122=
144; 144 + 52 = 196; √196 = 14; x 14 = 21; 21 x
7 = 147; x 147 = 84; 84
: 3 = 28. Demikianlah bilangan yang dicari itu adalah 28.
Dalam ilmu ukur segitiga terutama dipergunakan untuk
menghitung bentuk ilmu ukur yang berkenaan dengan sudut. Dalam hal ini mereka
telah memiliki daftar jya (sinus)
yang cukup teliti. Bahkan istilah sinus kita sendiri berasal dari kata jya itu
tetapi telah mengalami kekeliruan dalam penerjemahan melalui Bahasa Arab. Hal
ini akan kita lihat dalam pembicaraan tentang berhitung Arab.
Kaidah tiga adalah pemecahan dalam
berhitung melalui perbandingan. Dalam ungkapan Brahmagupta hal ini kita temukan
dalam bentuk pernyataan sebagai berikut:
Dalam kaidah tiga , Uraian, Buah,
dan Carian adalah nama-nama dari suku-suku itu. Suku-suku pertama dan akhir
harus serupa. Carian dikali Buah dan dibagi Uraian adalah Hasil.
Kita lihat penggunaan kaidah tiga
ini misalnya melalui contoh soal dari Bhaskara:
Apabila 2½ pala kunyit dibeli dengan
nika, berapa
pala kunyitkah terbeli oleh 9 nika:
Disini
2½ pala adalah Buah, nika adalah
Uraian, dan 9 nika adalah Carian. Jadi Hasil adalah
= 52½ pala
kunyit
Atau dalam bentuk aljabar yang kita pergunakan
sekarang kaidah tiga seperti ini adalah sebagai perbandingan berikut:
x : 9 = 5½ :
Tampak di sini bahwa Uraian nika dan Carian
9 nika adalah serupa seperti dinyatakan dalam ungkapan Brahmagupta itu.
Berhitung atau matematika India Kuno
terutama dipergunakan sebagai alat pembantu untuk astronomi di samping
penggunaannya dalam keperluan sehari-hari dalam masyarakat. Oleh karena itu
buku-buku India Kuno yang menyangkut berhitung terutama merupakan buku-buku
astronomi dengan bab-bab tertentu diperuntukkan bagi uraian matematika.
Selanjutnya berhitung India Kuno juga muncul sebagai hiburan. Dalam buku yang
ditulis oleh Brahmagupta misalnya terdapat kalimat yang menyatakan bahwa
sebagian dari soal-soal berhitung yang disusunnya adalah sekedar sebagai
hiburan belaka.
B. Cina
Kuno
Berhitung Cina Kuno berkaitan dengan berhitung India
Kuno namun sampai dimana bentuk kaitan itu masih merupakan pertentangan
dikalangan ahli matematika sekarang ini. Namun, sekedar sebagai suatu gambaran
kita dapat melihat pendapat yang dikemukakan oleh Joseph Needham. Menurut
Needham bahan-bahan ilmu ukur yang dikemukakan oleh Aryabhata sekitar abad
kelima sangat menyerupai apa yang dikemukakan oleh Liu Hui pada abad ketiga.
Soal-soal tak tentu (persamaan Diophantus) yang dikemukakan oleh Brahmagupta
pada abad ketujuh terdapat pada Sun-tse
Suan-cing dari abad ketiga. Aturan untuk menentukan luas segmen lingkarang
yang dikemukakan dalam karya Mahavira pada abad kesembilan terdapat dalam Ciu-cang Suan-shu dari abad kesatu.
Pembuktian dalil phytagoras yang dikemukakan dalam karya Bhaskara pada tahun
1150 terdapat pada komentar Cao chun-cing atas Cou-pi yang dikemukakannya pada abad kedua.
1. Bilangan
Nol dalam Cina Kuno
Diperkirakan bilangan nol mulai dipergunakan di Cina
Kuno pada abad kesebelas yakni pada zaman dinasti sung. Namun, sebelum zaman
itu berhitung di Cina Kunotelah erkembang terutama untukmemenuhi keperluan
praktis di dalam masyarakat. Bahkan ukuran dan timbangan yang sering berkaitan
dengan berhitung telah dibakukan pada abad ketiga SM. Oleh karena itu, paling
sedikit kita menganggap bahwa Cina Kuno terdiri atas dua tahap meliputi tahap
sebelum penggunaan bilangan nol dan tahap sesudahnya.
2. Berhitung
di Zaman Cina Kuno
Pembakaran buku oleh kaisar pertama Dinasti Chin pada
abad ketiga SM telah turut mengurangi pengetahuan kita akan sejarah pengetahuan
mereka untuk zaman sebelum abad ketiga SM. Tetapi pembakuan semua keperluan
masyarakat terutama pembakuan ukuran, timbangan, dan mata uang pada waktu itu
ikut membantu berhitung sehingga pengetahuan berhitung dapat menyebar dari
perbatasan Mongolia di utara sampai ke pantai Vietnam utara di selatan
kesemuanya melalui pengertian yang sama. Demikian pula pembuatan Benteng
(Tembok) Besar memerlukan perhitugan sehingga hal itu turut membantu dalam
perkembangan berhitung praktis.
Dari
buku-buku yang tersisa setelah pembakaran buku itu atau dari buku-buku yang
ditulis kembali setelah itu berdasarkan ingatan, kita menemukan juga I Cing (buku tentang perubahan). Dan di
dalam buku ini terdapat bilangan-bilangan yang diperlakukan secara mistik.
Ada beberapa hal pada berhitung Cina
Kuno yang dapat kta catat di sini.
·
Pemistikan
bilangan yang terutama berasal dari zaman sebelum penggunaan bilangan nol.
·
Kecenderungan
berhitung secara akumulatif; bilangan dari satuan yang berbeda dijumlahkan
dengan satu; sedangkan dalam pemecahan soal sering ditempuh jalan melalui
Kaidah Tiga seperti di India Kuno.
·
Penciptaan
madah (lagu, sajak) untuk memudahkan orang mengingat aturan-aturan dalam
berhitung.
Kecenderungan melalui akumulasi bilangan
dalam berhitung Cina Kuno kiranya dapat kita lihat pada soal berikut;
Kini ada kubus, bola, bujur sangkar,
masing-masing berjumlah 1. Jumlah keseluruhannya adalah 229.607 che. Sisi kubus
melebihi sisi tengan bola dengan 7 che, sisi bujur sangkar adalah 2/3 garis
tengan bola, ditanyakan ketiganya masing-masing berapa?
Tampak di sini bahwa satuan kubik dan
bujur sangkar dijumlahkan menjadi satu jumlah akumulasi. Demikianlah tampak
bahwa seperti halnya pada berhitung India Kuno berhitung di Cina Kuno juga
berkenaan dengan soal-soal praktis. Sekalipun mereka telah memiliki satuan
bilangan besar dan satuan ukuran kecil, namun pengertian tak hingga dan renik
serta kaitan diantara keduanya itu hanya terbatas pada filsafat dan tidak
sampai ke berhitung atau matematika.
C. Arab
Kuno
Berhitung di
wilayah Arab Kuno terutama berkembang pada abad kedelapan yakni pada zaman
setelah bilangan nol tercipta. Sejalan denga sejarah ketatanegaraan Arab
berhitung atau pada umumnya matematika di Arab Kuno mempunyai cirri-ciri
tersendiri. Pengetahuan berhitung Arab Kuno ditandai oleh beberapa hal:
·
Penerjemahan
karya berhitung yang telah ada sebelumnya turut mempertahankan pengetahuan dari
kemusnahan.
·
Berhitung
mereka merupakan panduan dari berbagai ahli Arab dan bukan Arab yang tersebar
di seluruh wilayah kekuasaan Arab.
·
Mereka
memadukan juga pengetahuan berhiung dari berbagai pusat pengetahuan berhitung
kuno dari zaman sebelumnya terutama berhitung kuno barat dan timur.
·
Mereka
menyebarkan kemampuan berhitung yang terpadu itu ke wilayah yang luas dari tmur
ke barat yang diantaranya juga mencakup lambing bilangan nol beserta bilangan
dengan bilangan dasar decimal yang dituliskan berdasarkan system letak
bilangan.
Selanjutnya, dalam pengembangan
berhitung selain menggunakan Penjajagan dengan Jawaban Palsu dan Kaidah Tiga,
penjajagan dengan Jawaban Palsu Ganda, Arab Kuno juga telah mempergunakan cara
Pembuangan Sembilan untuk memeriksa suatu proses perkalian.
a.
Setiap
digit dari bilangan itu dijumlahkan.
b.
Dari
jumlah digit ini dibuang nilai Sembilan atau kelipatannya sehingga diperoleh
sis penjumlahan digit.
c.
Sisa
ini dipergunakan sebagai patokan untuk memeriksa proses perkalian dengan
pengertian bahwa Sisa Penjumlahan Digit hasil kali sisa-sisa dari
bilangan-bilangan yang dikalikan harus sama dengan sisa dari hasil perkalian
bilangan itu.
Contoh:
534
x 6.425 = 3.430.950
Dalam
hal ini,
Bilangan 534 6.425 3.430.950
Jumlah
digit 12 17 24
Buang
Sembilan 9 9 18
Sisa 3 8 6
Di
sini perkalian sisa 3x8=24 menghasilkan penjumlahan digit sebesar 2+4=6 dan
nilai ini cocok dengan sisa dari hasil kali perhitungan.
Apabila kedua sisa itu tidak sama
maka hasil perkalian itu keliru. Namun, cara Pembuangan Sembilan ini bukanlah
cara yang mutlak benar karena kekeliruan berupa pertukaran letak digit atau
kekeliruan dengan jumlah digit yang tidak berubah tidak akan diketahui melalui
cara Pembuangan Sembilan ini.
Selanjutnya, mereka juga telah menemukan
rumus untuk menentukan bilangan bersahabat (Tabit Ibnu Qorra) sedangkan melalui
irisan dua kerucut mereka sudah dapat memecahkan persamaan kubik (Umar
Khayyan).
Ilmu ukur segitiga telah mereka kembangkan sampai ke
ilmu ukur segitiga bola dan memisahkan ilmu ukur segitiga dari astronomi untuk
menjadi ilmu yang berdiri sendiri. mereka telah menyusun fungsi ilmu ukur
segitiga berupa sinus, tangen, kotangen, sekan, dan kosekan. Khususnya mengenai
istilah sinus terdapat kisah;
Sinus berasal dari India Kuno.
Aryabhata menamakannya ardha jya atau jya ardha. Secara lafal istilah itu
mereka terjemahkan kedalam bahasa Arab dalam bentuk jiba. Tetapi karena bahasa
Arab tidak mempunyai lambing khusus untuk huruf hidup (kecuali alif dan ‘ain)
maka kata jiba ditulis menjadi jb dengan tanda baca. Tanda baca dalam tulisan
arab sering ditinggalkan karena pembaca sudah dapat mengetahui kata itu dari
susunan kalimat sehingga tanda baca kata jiba pun mereka tinggalkan.
Orang-orang tidak lagi mengetahui dengan pasti bagaimana lafal jb itu dan
mereka mencari kata jb yang mempunyai arti. Demikianlah kata jb diungkapkan
sebagai jaib yang berarti dada. Kemudian pada tahun 1150 Gherardo dari Cremona
menerjemahkan kata jaib ke dalam bahasa latin menjadi sinus.
Selanjutnya pada bola mereka juga
menemukan rumus-rumus sinus dan kosinus dan dengan demikian mereka turut
mengembangkan pengetahuan ilmu ukur segitiga bola.
Para ahli berhitung atau ahli
matematika Arab Kuno tersebar di pusat-pusat pengetahuan pada waktu itu. Ada
yang di Bagdad, di Khurasan,dan ada pula di Cordoba atau Sevilla. Daftar 36
menunjukkan sebagian di antara para ahli itu. Di antara mereka Al-Khawarizmi
bertempat di Khiva; Abu’l Wafa, Ummar Khayyam, dan At-Tusi bertempat di
Khurasan; Al-Zarqali di Cordoba; dan Ibn Aflah di Sevilla.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa cara berhitung di India Kuno, Cina Kuno, dan Arab Kuno sangat
berbeda dengan berhitung zaman sekarang. Bagaimana cara menjumlahkan,
mengalikan dan operasi hitung lainnya berbeda. Teknik-tekniknya juga berbeda,
dimana pembahasan di atas juga ada yang namanya teknik penjajagan, pembuangan
Sembilan, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa berhitung kaya akan
teknik-teknik dari zaman dahulu hingga sekarang.
Saran untuk pembaca, agar pembaca
dapat memahami teknik-teknik tersebut, dan lebih mendalami lagi teknik-teknik
berhitung di lain zaman agar pembaca kaya akan pengetahuan. Jika terdapat
keslahan agar pembaca dapat mengkritik kepada penulis. Karena kritik dan saran
dari pembaca sangat dibutuhkan untuk kebaikan makalah ini dan kebaikan kita
semua.
0 komentar:
Posting Komentar