Teori Disonansi Kognitif
Teori Disonansi Kognitif pertama
kali diperkenalkan oleh Leon Festinger pada tahun 1957 dan berkembang pesat
sebagai sebuah pendekatan dalam memahami area umum dalam Komunikasi dan
pengaruh sosial. Ada terdapat beberapa Teori dalam menjelaskan konsistensi atau
keseimbangan, diantarnya adalah Teori Ketidakseimbangan Kognitif (cognitive
imbalance theory) oleh Heider pada tahun 1946, Teori Asimetri (asymetry theory)
oleh Newcomb pada tahun 1953, dan Teori Ketidakselarasan (incongruence) oleh
Osgood dan Tannembaum pada tahun 1952. Namun Shaw & Contanzo pada tahun
1985 mengatakan bahwa Teori Disonansi Kognitif memiliki dua perbedaan hal
penting yang terdapat didalam proses Teori ini, yaitu :
1. Tujuannya,
yang dimaksudkan untuk memahami hubungan tingkah laku (behavior) dan Kognitif
(cognitive) secara umum, tidak hanya merupakan sebuah teori dari tingkah laku
sosial.
2. Pengaruhnya,
dalam sebuah penelitian Psikologi yang dilakukan oleh pakar psikolog, suatu
hubungan sosial telah menjadi suatu hal yang sangat besar dibandingkan teori
konsistensi lainnya, jika memiliki perbandingan.
Menurut Festinger (1957) disonansi
kognitif adalah ketidaksesuaian yang terjadi antara dua elemen kognitif yang
tidak konsisten yang menyebabkan ketidaknyamanan Psikologis serta memotivasi
orang untuk berbuat sesuatu agar disonansi itu dapat dikurangi. Istilah
disonansi / disonan berkaitan dengan istilah konsonan dimana keduanya mengacu
pada hubungan yang ada antara dua buah elemen. Elemen - elemen yang dimaksud
adalah elemen kognitif yaitu Hubungan antara elemen kognitif yang konsonan
berarti adanya suatu kesesuaian antara elemen kognitif manusia (Festinger, 1957
dalam Breckler, Olson, & Wiggins, 2006). Sementara hubungan yang disonan
seperti yang juga diungkapkan oleh Festinger (1957) :
“These two elements are
in a dissonant relation if, considering these two alone, the observe of one
element would follow
from the other”
Kedua elemen yang dimaksud oleh
Festinger (1957) ialah :
1. Hubungan
tidak relevan (irrelevant), yaitu tidak adanya kaitan antara dua elemen
Kognitif. Misalnya : pengetahuan bahwa merokok buruk bagi kesehatan dengan
pengetahuan bahwa Indonesia tidak pernah turun salju. Dapat kita lihat, bahwa
dua hal ini tidak memiliki kaitan antara satu sama lain. Yang mana pengetahuan
merokok itu buruk ditujukan untuk para perokok, dan pengetahuan Indonesia tidak
pernah turun salju ditujukan untuk siapa saja dan bersifat umum.
2. Hubungan
relevan (relevant), yaitu hubungan yang berkaitanantara satu dengan yang
lain, sehingga salah satu elemenmempunyai dampak terhadap elemen yang lainnya.
Hubunganiniterdiri dari dua macam, yaitu :
·
Disonan, jika dari kedua elemen
Kognitif, satu elemen diikutipenyangkalan (observe) dari yang elemen lainnya.
Contoh :seseorang yang mengetahui bahwa bila terkena hujan akanbasah mengalami
disonan ketika pada suatu hari iamendapati dirinya tidak basah saat ia terkena
hujan.
·
Konsonan, terjadi ketika dua elemen
bersifat relevan dantidak disonan, dimana satu Kognisi diikuti secara
selaras.Contoh : seseorang yang mengetahui bahwa bila terkenahujan akan basah
dan memang selalu basah bila terkenahujan.
Contoh
hubungan yang disonan antara elemen kognitifmenurut Festinger (1957) yaitu jika
seseorang tahu bahwa ia sedangterlilit hutang dan dia membeli sebuah mobil
baru, maka akan terjadilah sesuatu yang disebut dengan hubungan yang disonan antara
kedua elemen kognitif tersebut, yaitu antara terlilit hutang yang lebih banyak
dan adanya hasrat untuk memiliki mobil baru.
Festinger
juga menyatakan bahwa hubungan yang konsonan antara elemen kognitif menghasilkan
perasaan yang menyenangkan, sementara hubungan yang disonan akan menyebabkan
perasaan yang tidak enak atau tidak nyaman pada individu. Perasaan tidaknyaman
yang terbentuk akibat hubungan yang disonan tersebut memotivasi individu untuk
melakukan sesuatu agar disonansi itu dapat dikurangi sehingga mereka akan
merasa nyaman kembali (1957, dalam Breckler, Olson, & Wiggins, 2006).
Setiap
hubungan yang disonan tentu saja tidak sama besarnya, dimana Festinger (dalam
Breckler, Olson, & Wiggins, 2006) menyatakan bahwa tingkat kepentingan dari
elemen – elemen Kognitif mempengaruhi besarnya disonansi yang terjadi. Semakin penting
atau semakin bernilainya suatu elemen kognitif akan mempengaruhi besarnya hubungan
yang disonan antara elemen tersebut. Breckler, Olson, & Wiggins (2006) juga
menyatakan bahwa disonansi antara elemen - elemen kognitif yang penting
akanmenyebabkan perasaan negatif yang lebih besar dibandingkan disonansi yang
terjadi pada elemen - elemen yang kurang penting. Sebagai salah satu contoh ilustrasinya
yaitu, ketika kita melukai perasaan sahabat, teman ataupun kekasih akan lebih menimbulkan
disonansi yang lebih besar dibanding ketika melukai perasaan orang asing yang
baru kita kenal ataupun yang belum sama sekali kita ketahui siapa orang
tersebut.
Komunikasi
memang merupakan suatu kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir dan selama Manusia
menjalani proses kehidupannya, Manusia akan selalu terlibat dalam tindakan-tindakan
Komunikasi. Tindakan komunikasi dapat terjadi dalamberbagai konteks kehidupan
manusia, mulai dari kegiatan yang bersifat individual, di antara dua orang atau
lebih, kelompok, keluarga, organisasi dalam konteks publik secara lokal,
nasional, regional dan global atau melalui media massa.
Begitu
pula dengan Teori Disonansi Kognitif ini, prakata dan statement real yang
dicetuskan para ahli seperti Festinger, dapat terjadi dengan siapa saja yang
melakukan Interaksi dan menjalin Komunikasi, baik itu secara interpersonal
maupun intrapersonal. Tanpa memperhatikan ruang Komunikasi yang ada, hanya
perlu memahami sikap, perilaku, karakter, sifat dan watak diri sendiri ataupun
orang lain yang menjadi lawan bicara kita.
Karena
Teori Disonansi Kognitif menjadi salah satu penjelasan yang paling luas yang
diterima terhadap perubahan tingkah laku dan banyak perilaku sosial lainnya.
Teori ini telah di genralisir pada lebih dari seribu penelitian dan memiliki
kemungkinan menjadi bagian yang terintegrasi dari teori psikologi sosial untuk
bertahun – tahun,
seperti yang dikatakan oleh Cooper & Croyle pada tahun 1984 dan dalam
Vaughan & Hogg tahun 2005.
Pengertian
Secara Teoritis
·
Leon Festinger yang
merupakan seorang pakar Psikolog, pada tahun 1957 menyatakan bahwa Kognitif
menunjuk pada setiap bentuk pengetahuan, opini, keyakinan ataupun perasaan
mengenai diri seseorang atau lingkungan dimana seseorang itu berada. Elemen – elemen Kognitif ini berhubungan
dengan hal–hal
nyata atau pengalaman sehari –
hari
dilingkungan dan hal–hal
yang terdapat dalam dunia psikologis (psikis) seseorang.
·
Wibowo dalam
sebuah buku karangan Sarwono, S.W. pada tahun 2009, mendefinisikan Disonansi
Kognitif sebagai keadaan tidak nyaman akibat adanya ketidaksesuaian antara dua
sikap atau lebih serta antara sikap dan tingkah laku.
·
Roger brown pada
tahun 1965 mengatakan, dasar dari teori ini adalah mengikuti sebuah prinsip
yang cukup sederhana, yaitu : ”Keadaan
Disonansi Kognitif dikatakan sebagai keadaan ketidaknyaman
Psikologis atau ketegangan yang memotivasi usaha - usaha untuk mencapai konsonansi”.
Disonansi sendiri menurut beliau adalah sebutan untuk
menyampaikan ketidakseimbangan dan Konsonansi merupakan sebutan untuk menyatakan
keseimbangan yang terjadi. Brown menyatakan Teori ini memungkinkan dua elemen
untuk melihat tiga hubungan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Konsep
Teori Disonansi Kognitif
Ketika
Teoretikus Disonansi berusaha untuk melakukanprediksi seberapa banyak
ketidaknyaman atau disonansi yangdialami seseorang, mereka mengakui adanya
konsep tingkatdisonansi. Tingkat disonansi (magnitude of dissonance) merujukkepada
jumlah kuantitatif disonansi yang dialami oleh seseorang.Tingkat disonansi akan
menentukan tindakan yang akan diambilseseorang dan kognisi yang mungkin ia
gunakan untuk mengurangidisonansi tersebut. Teori CDT (Cognitive Dissonant
Theory) dapatdikatakan juga sebagai sisi untuk membedakan antara situasi
yangmenghasilkan lebih banyak disonansi dan situasi yang menghasilkanlebih
sedikit konsonansi.Kembali kepada Festinger (1957), beliau pernahmengemukakan,
bahwa jia Dua orang Individu yang memiliki situasiyang sama memiliki
kemungkinan berada dalam suatu kondisi yangdisonan. Aronson (dalam Shaw
& Contanzo, 1985) menyatakanbahwa perbedaan individu berperan dalam proses
disonansi kognitif.Perbedaan ini terjadi dalam kemampuan subyek dalam
mentoleransidisonansi, cara yang dipilih subyek untuk mengurangi
kondisidisonan, dan cara subyek memandang suatu masalah sebagaikonsonan atau
disonan dalam sebuah kepribadian individu.
Asumsi
Teoritis Disonansi Kognitif
Teori
Disonansi Kognitif memiliki sejumlah Asumsi, anggapan, presepsi ataupun
statement dasar, diantaranya adalah :
1. Manusia
memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya.
Teori ini menekankan pada sebuah model mengenai sifat dasar dari diri manusia
yang mementigkan adanya stabilitas dan konsistensi.
2. Disonansi
diciptakan oleh Inkonsistensi biologis. Teori ini merujuk pada fakta – fakta yang tidak harus
konsisten secara psikologis (kejiwaan / mental) satu individu dengan individu
lainnya untuk menimbulkan Disonansi Kognitif.
3. Disonansi
adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan
dengan dampak - dampak yang tidak dapat diukur didalamnya. Teori memang ini
menekankan seseorang yang berada dalam kondisi Disonansi memberikan keadaan
yang tidak nyaman, sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari
ketidaknyamanan tersebut.
4. Disonansi
akan mendorong usaha untuk memperoleh Konsonansi dan usaha untuk mengurangi
suatu kondisi Disonansi. Teori ini beranggapan bahwa rangsangan Disonansi yang
diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut
dan mengembalikannya pada konsistensi.
Implikasi
Teori Disonansi Kognitif
Didalam
buku karangan Shaw & Constanzo pada tahun1982, Leon Festinger juga
mengatakan bahwa Teori DisonansiKognitif memiliki Implikasi penting didalam
menghadapi banyaksituasi spesifik. Festinger menjabarkan Implikasi – Implikasi tersebutdalam
seseorang mengambil Keputusan (decisions), ForcedCompliance, Pencarian
Informasi (Exposure to Information), dan Dukungan Sosial (Social
Support). Dari situasi - situasi tersebut dapat diketahui besarnya kekuatan
sebuah Disonansi.
1. Keputusan
(Decisions)
Keputusan (Decisions) termasuk
kedalam Implikasi dari Disonansi Kognitif yang menyatakan bahwa Disonansi
Kognitif merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan dari sebuah
Keputusan (Decisions). Hal tersebut didasari oleh kenyataan bahwaseorang
individual harus berhadapan dengan sebuah situasi konfliksebelum sebuah
keputusan dapat dibuat.
Pada umumnya, elemen Disonan adalah
aspek Negatif darialternatif yang dipilih dengan aspek positif yang ditolak.
Disonansiakan semakin kuat jika Keputusan (Decisions) semakin penting danjika
ketertarikan dari alternatif yang tidak dipilih semakin besar.Contoh dari
munculnya disonansi dalam sebuah Keputusan(Decisions) yang diambil adalah
seorang perokok berat yangmemutuskan untuk tetap merokok mengalamin disonan
ketika iamengalami sakit kanker dan paru – paru akibat merokok (hal negatifdari
alternatif yang dipilih) dengan hal positif yang akan ia dapat bilatidak
merokok, yaitu kesehatan yang baik (alternatif yang ditolak).
2. Forced
Compliance
Forced Compliance merupakan suatu
permintaan dari luardiri seseorang yang dipaksakan kepada seorang individu.
Aplikasidari Teori disonansi pada Forced Compliance terbatas padapermintaan
publik (Compliance) tanpa disertai oleh perubahanpendapat pribadi yang ada.
Sumber Disonansi adalah kesadaran
seseorang dari tingkahlaku yang diharuskan publik yang tidak konsisten dengan
pendapatpribadi. Forced Compliance ini mempengaruhi individu, misalnyaseorang
perokok berat yang membuat keputusan (decisions) untuktidak merokok, alhasil
dia berhasil mengubahnya (berhenti merokok).Atau dalam hal nya dapat dikatakan
sebagai jalan untuk merubahperilaku atau ucapan yang tampak terlihat merubah
sebuah opini dankeyakinan mereka dengan tetap memegang keyakinan sebelumnya(merokok
sembunyi – sembunyi
atau takut akan bahaya dan dampakdari merokok), atau justru membuat mereka
mencari dukungansosial yang mendukung pendapat, opini dan statement yang
merekamiliki (bergabung dengan klub penggemar rokok).
3. Pencarian
Informasi (Exposure to Information)
Festinger
memberikan sebuah hipotesis, bahwa pencarianInformasi secara aktif akan
berkorelasi dengan kekuatan sebuahDisonansi. Disonansi tersebut menyebabkan
pencarian sebuahInformasi menjadi lebih selektif dan terperinci, yaitu seorang
individuakan lebih mencari Informasi yang menyebabkan konsonan danmenghindari
informasi yang menyebabkan disonansi.
Contohnya
didalam hal hilangnya pesawat Malaysia Airlines(MAS) MH370, yang hingga
sekarang keberadaan dan posisinyamasih dipertanyakan, walaupun kabar terakhir
yang ada mengatakankapal terjatuh diseputaran Samudera Hindia. Namun, sampai
dimanakebenaran dan kenyataannya masih belum dapat dipastikan secaratepat. Maka
itu dibutuhkanlah pencarian melalui selektif data lebihterperinci dan lain
sebagainya, hingga diperolehnya sebuahInformasi yang akurat, terpercaya dan
sesuai kenyataan.
4. Dukungan
Sosial (Social Support)
Didalam
halnya Dukungan Sosial (social support) berperandalam mengurangi kondisi
Disonan, seperti apa yang dikatakan olehFestinger pada tahun yang sama (1957).
Disonansi Kognitif akandihasilkan oleh seseorang yang mengetahui bahwa orang
lainmemiliki opini yang berlawanan dengan opininya.
Presepsi
Disonansi Kognitif
Teori
Disonansi Kognitif berkaitan dengan proses pemilihanterpaan (selective
exposure), pemilihan perhatian (selectiveattention), pemilihan interpretasi
(selective interpretation), danpemilihan retensi (selective retention), karena
teori ini memprediksibahwa orang akan menghindari informasi yang
meningkatkandisonansi. Proses perseptual ini merupakan dasar dari
sebuahpenghindaran yang ditujukan.
1.
Terpaan Selektif (Selective
Exposure)
Mencari
informasi yang konsisten yang belum ada,membantu untuk mengurangi disonansi.
Teori Disonansi Kognitifmemprediksikan bahwa orang akan menghindari informasi
yangmeningkatkan disonansi dan mencari informasi yang konsistendengan sikap
serta prilaku mereka.
2.
Pemilihan Perhatian (Selective
Attention)
Merujuk
pada dengan melihat informasi secara konsistenbegitu konsisten itu timbul. Orang
memperhatikan informasi dalamlingkungannya yang sesuai dengan sikap dan
keyakinannyasementara tidak menghiraukan informasi yang tidak konsisten.
3.
Interpretasi Selektif (Selective
Interpretation)
Melibatkan
penginterpretasikan informasi yang ambigusehingga menjadi konsisten. Dengan
menggunakan interpretasiselektif, kebanyakan orang menginterpretasikan sikap
temandekatnya sesuai dengan sikap mereka sendiri daripada yangsebenarnya
terjadi (Bescheid&Walster,1978).
4.
Retensi Selektif (Selective
Retention)
Merujuk
pada mengingat dan mempelajari informasi yangkonsisten dengan kemampuannya yang
lebih besar dibandingkanyang kita akan lakukan terhadap informasi yang
konsisten dengankemampuan yang lebih besar dibandingkan yang kita
lakukanterhadap informasi yang tidak konsisten.
Upaya
Mengatasi Disonansi Kognitif
Adanya
Disonansi yang terjadi didalam sebuah Interaksimaupun jalinan Komunikasi, dapat
lebih meningkatkan tekananuntuk mengurangi atau bahkan mengeleminasi Disonansi
yangterjadi tersebut. Semakin besar suatu Disonansi Kognitif yang terjadi,maka
intensitas perilaku yang dikeluarkan untuk mengurangi Disonansi tersebut akan
semakin meningkat serta perilakupenghindaran yang dapat meningkatkan Disonansi
juga akansemakin sering dilakukan (Festinger, 1957).
Cara-cara
yang dapat dilakukan untuk mengurangi DisonansiKognitif menurut beliau,
(Festinger, 1957) yaitu :
1.
Mengubah Elemen Kognitif Tingkah
Laku
Ketika
disonansi terjadi antara elemen kognisi lingkungandengan elemen tingkah laku,
disonansi dapat dihilangkan dengancara mengubah elemen kognisi tingkah laku
agar konsonan denganelemen lingkungan. Sebagai contoh adalah orang yang merokok
dandia tau bahwa rokok dapat menyebabkan kanker paru-paru, akanberhenti merokok
untuk menghilangkan disonansi kognitif yang diarasakan. Cara ini paling sering
dilakukan, tetapi tidak selalu dapatdilakukan karena mengubah tingkah laku yang
sudah menjadikebiasaan tidaklah mudah.
2.
Mengubah Elemen Kognitif Lingkungan
Mengubah
elemen kognitif lingkungan agar konsonandengan elemen kognitif tingkah laku
dapat dilakukan untukmengurangi atau bahkan menghilangkan disonansi kognitif
yangterjadi. Hal ini tentu saja lebih sulit dibandingkan mengubah elementingkah
laku karena individu harus punya kontrol yang cukupterhadap lingkungannya.
3. Menambah
Elemen Kognitif yang Baru
Disonansi
kognitif juga dapat dikurangi dengan caramenambah elemen kognitif yang baru
agar konsonan denganelemen kognitif yang lain. Dengan menambah elemen kognitif
yangbaru maka disonansi kemungkinan akan berkurang denganmenurunkan tingkatan
dari pentingnya disonansi tersebut.
Contohnya,
orang yang merokok dan tau efek negatif dari merokokakan mengurangi disonansi
kognitif yang terjadi dengan caramencari informasi terkait perilaku merokok
yang dapat menurunkandisonansi kognitif secara keseluruhan, seperti informasi
bahwakonsumsi minuman keras lebih mematikan dari pada perilakumerokok. Lewat
cara ini berarti individu juga secara aktif menghindariinformasi yang dapat
meningkatkan disonansi kognitif yang merekaalami.
Menurut
Breckler, Olson, & Wiggins, (2006) cara mereduksiatau mengatasi disonansi
kognitif tersebut juga dapat dilakukanlewat Rasionalisasi, yaitu meyakinkan
diri sendiri bahwa perilakuyang dilakukan saat ini atau di masa lampau semuanya
masuk akaldan dapat diterima oleh orang lain.
(Dari berbagai sumber)
teori disonansi kognitif di ambil sumber dari mana ya ? tolong min di cantumkan itu saran saya :) karna teori ini saya ambil untuk skripsi saya.
BalasHapusterimaksih atas informasinya
BalasHapus